Sabtu, 25 Oktober 2008

Pendidikan Kepala Sekolah?.....Perlu

Pendidik di SMA Kolese Loyola Semarang, penulis buku paket, dan penulis lepas di berbagai media massa. Kini sedang studi Instructional Leadership di Loyola University Chicago, Amerika Serikat.

MENJADI kepala sekolah itu tidak gampang. Itulah yang spontan terbesit di pikiran saat banyak kalangan mengeluh dengan kepala sekolah masing-masing. Dan pada kenyataannya memang tidak gampang memimpin sekolah dengan segala problematiknya. Sekolah merupakan kumpulan orang-orang hebat dengan pikiran, perasaan, dan tindakan yang beraneka ragam. Celakanya, kepala sekolah juga menjadi bagian keanekaragaman itu.

Penelitian dilakukan oleh Saefudin (2005) tentang kepemimpinan kepala sekolah merekomendasikan bahwa kepala sekolah harus mempunyai visi dan misi yang jelas dan realistis. Dia menambahkan juga bahwa kepemimpinan situasional sebaiknya disosialisasikan dan dibudayakan. Hal itu penting erat kaitanya dengan mutu pendidikan, di sekolah khususnya. Dan ini menjadi bukti bahwa begitu sulitnya menjadi kepala sekolah yang baik.

Berangkat dari penelitian itu, menarik untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang bagaimana kepala sekolah disiapkan. Kebanyakan yang ada kini adalah bagaimana kepala sekolah dipilih dan selanjutnya bagaimana menyiapkan kepala sekolah terpilih menjadi kepala sekolah yang benar-benar pilihan.

Ada dua paradigma yang berbeda dan erat kaitannya dengan konsep dan waktu, yakni antara kepala sekolah dipilih dan kepala sekolah pilihan. Perbedaan ini sangat sarat dengan perbedaan kualitas di dalamnya.

Ketika sekolah, terlebih sekolah swasta, harus memilih atau menunjuk seseorang menjadi kepala sekolah, ada banyak alasan untuk menentukan siapa yang pantas menjadi kepala sekolah dan mengapa pantas? Perlu digarisbawahi bahwa kepala sekolah yang dipilih memiliki alasan persepsi pantas, bukan layak.

Jelas sekali perbedaan makna kedua kata tersebut. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari kepantasan itu. Dan sialnya, hal itu justru menjadi bumerang bagi sekolah itu sendiri.

Pertama, karisma menjadi alasan seseorang dipilih menjadi kepala sekolah. Orang yang tampak berwibawa, bijaksana, dan sopan tutur katanya. Memang ini adalah seolah-olah malaikat yang hidup di sekolah. Ironisnya, karakter ini hanya bertahan pada tataran fisik dan figur ideal. Yang akhirnya banyak jatuh dalam rutinitas dan kestabilan belaka. Progresivitas dan perubahan visioner sekolah yang dipimpin bukan menjadi semangatnya. Segala aktivitas rutin sekolah berjalan dengan baik sudahlah lebih dari cukup.

Kedua, kadangkala prestasi seorang guru memiliki pengaruh kuat untuk menuju kursi kepala sekolah. Sudah banyak kepala sekolah yang ada bertolak dari kariernya menjadi guru teladan atau guru berprestasi. Ada harapan besar, menciptakan sekolah berprestasi dari kepala sekolah yang guru berprestasi.

Kenyataannya tidak semudah atau sejelas rumus matematika. Yang terjadi, prestasi untuk diri sendiri dan belum tentu mampu berprestasi untuk sekolah. Bahkan yang terjadi justru terjebak pada obsesi diri dengan mengatasnamakan sekolah. Akibatnya, meresahkan elemen sekolah dan parahnya pemaksaan ambisi dengan target-target tinggi dan tidak realistis.

Ketiga, pengaruh besar seseorang pun menjadi bahan pertimbangan dalam penunjukan itu. Hal ini erat kaitannya dengan kekuasaan atau kemampuan seseorang menggerakkan para guru. Dengan harapan besar bahwa orang seperti ini akan memperjuangkan hak dan kewajiban para guru pada pihak yang lebih tinggi.

Harapan tinggal harapan saja karena pada akhirnya kekuasaan itu justru akan membelenggu sistem sekolah dengan segala kebijakannya pada tataran praktis. Dengan bahasa sekarang, justru menjadi pemimpin yang otoriter bahkan diktator.

Keempat, usia pun menjadi pertimbangan dengan memilih guru tua atau agak tua, baik umur maupun masa kerjanya. Mengapa demikian? Ada persepsi bahwa usia identik dengan banyak makan garam alias banyak pengalaman.

Imbasnya adalah kemungkinan kejenuhan dalam pendidikan sangat besar. Terlalu banyak makan garam sehingga menyebabkan sulit merasakan aroma rasa yang lain, seperti manis dan pahitnya berkembang dan maju dalam perubahan.

Kelima, ada impian dari para guru untuk memiliki kepala sekolah yang ramah, kooperatif, murah senyum, dekat dengan guru dan karyawan, dan tidak kaku. Ini adalah karakter yang unggul dalam komunikasi dan sosialisasi. Tidak jarang terjadi bahwa sosok seperti ini hanya menjadi alasan kolega untuk memiliki pemimpin yang bisa disetir segala kebijakannya. Selain itu, ini sebagai usaha menjaga kenyamanan dan kemapanan sekolah (baca: kelompok tertentu) belaka.

Kepala Sekolah Pilihan

Alasan-alasan itu banyak mewarnai pemilihan ataupun penunjukan kepala sekolah di lingkungan pendidikan kita. Bahkan masih ada kemungkinan lain dalam menentukan kepala sekolah. Orang yang sedang atau pernah menduduki jabatan wakil kepala sekolah bidang tertentu dinilai pantas menjadi kepala sekolah.

Sangat jelas bahwa alasannya adalah pengalaman yang dimiliki. Tentunya alasan itu masih terlalu dini untuk dijadikan dasar penilaian sesorang mampu menjadi kepala sekolah.

Yang menjadi pemikiran adalah mengapa kepala sekolah tidak disiapkan jauh hari? Maksud dari disiapkan disini bukanlah hanya sekadar pernah menjadi wakil kepala sekolah, melainkan juga ada proses pendidikan untuk mendasari dan mengembangkan aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif sebagai kepala sekolah. Hal itu dapat dilakukan dengan kesertaan dalam berbagai pelatihan tentang kepala sekolah atau bahkan studi lanjut tentang kepemimpinan sekolah yang secara khusus berfokus pada kepala sekolah.

Berbicara tentang pelatihan atau yang sejenisnya, kadangkala semuanya itu dilakukan dengan sangat memprihatinkan. Seorang teman pernah berseloroh bahwa pelatihan yang baik adalah pulang dari mengikuti pelatihan membawa banyak kertas atau makalah yang disajikan narasumber.

Tentunya itu adalah sebuah sindiran akan pelatihan-pelatihan yang ada selama ini untuk berbagai bidang. Orang datang, duduk, dengar, dan pulang bawa oleh-oleh makalah yang hanya akan ditumpuk di pojok ruangan kerja. Pelatihan hanya sebagai formalitas, bukan sebagai sebuah perjumpaan wacana dan fakta untuk diaktualisasikan.

Kesadaran pertama yang harus dibangun adalah seorang yang disiapkan untuk menjadi kepala sekolah benar-benar membutuhkan dan berkeinginan mengembangkan kemampuannya. Hadir dalam pelatihan atau studi bukan sekadar untuk mendapatkan makalah.

Di lain sisi, dunia pendidikan atau tepatnya universitas beserta lembaga pengembangannya mampu mendesain sebuah pelatihan atau program studi untuk kepemimpinan sekolah, khususnya untuk kepala sekolah, secara implikatif. Dibutuhkan sebuah desain pelatihan atau studi yang menginspirasikan peserta untuk pengembangan pendidikan.

Harapannya adalah bukan lagi membawa makalah narasumber setelah mengikuti pelatihan atau studi, melainkan justru membawa desain atau tulisan sendiri. Jika itu adalah hasil karya sendiri, tentunya ada kebanggaan dan kerinduan untuk melihatnya kembali bahkan terinspirasi untuk mengembangkannya secara lebih maju dan dalam.

Titik bidik dari pelatihan itu adalah menginspirasikan dan memberi dasar seseorang untuk menjadi kepala sekolah. Setidaknya ada tiga hal yang patut diolah dan dikembangkan untuk menjadi kepala sekolah. Pertama, peserta menyadari sungguh posisi kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah yang erat kaitannya dengan visi, misi, dan tujuan penyelenggaraan pendidikan.

Hal ini menjadi spirit kepala sekolah dalam memimpin sekolah hingga mencapai school culture tertentu. Roh dari manajemen kepemimpinan sekolah menjadi kekuatan tersendiri untuk keberlangsungan sebuah sekolah.

Kedua, kesadaran akan kepala sekolah sebagai pemimpin program pendidikan. Berbicara tentang sekolah maka kita tidak bisa mengelak dari sistem pembelajaran yang baik dan benar. Bagaimana menciptakan sekolah sebagai tempat edukatif adalah tantangan dunia pendidikan. Segala sesuatu yang direncanakan, dilakukan, dan diperbarui adalah berfokus pada kebutuhan dan kepentingan anak didik.

Oleh sebab itu, pengembangan kurikulum, desain pembelajaran, supervisi, evaluasi, dan segala hal yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan anak didik merupakan wajib disadari dan dikembangkan seorang kepala sekolah. Hal ini nantinya sangat besar pengaruhnya dalam pengolahan dan membangun komitmen dengan para guru dalam membangun sistem pembelajaran yang baik dan kontekstual.

Ketiga, kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga pendidikan. Keberlangsungan sekolah sebagai lembaga tidak akan terlepas dari SDM, keuangan sekolah, sarana dan prasarana, litbang, serta stakeholders. Kepala sekolah bukanlah posisi warisan atau hanya sekadar meneruskan yang sudah berlangsung. Melainkan sebagai pengembang dan bahkan pelopor sesuatu yang baik.

Pada akhirnya, kepala sekolah pilihan dapat dipilih bukan hanya sekadar pungutan suara atau penunjukan belaka. Melainkan kepala sekolah pilihan dipilih karena ada proses persiapan terencana yang dilakukan.n
oleh: F.X. Aris Wahyu Prasetyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar