Selasa, 08 April 2008

Setop Kurikulum Merugikan Siswa

Ditulis oleh : Djauzak Ahmad, Mantan Direktur Pendidikan Dasar Ketua Majelis Pendidikan Riau

Dalam proses belajar-mengajar di sekolah, ada enam faktor yang harus dikuasai seorang guru. Pertama, guru harus menguasai kurikulum tempat ia mengajar. Kedua, guru harus menguasai mata pelajaran yang ia ajarkan. Ketiga, guru harus menguasai didaktik metodik dengan metode mengajar yang baik serta mampu menggunakan alat-alat pelajaran dan buku pelajaran.

Keempat, guru harus menguasai teknik evaluasi, sehingga dengan mudah dapat mengevaluasi apakah bahan pelajaran yang diajarkan telah dikuasai murid atau belum. Kelima, guru harus mempunyai komitmen yang tinggi dalam tugasnya, dengan komitmen yang tinggi seorang guru akan mencintai tugasnya sebagai guru dan pendidik. Keenam, guru harus memiliki disiplin yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya.

Dari keenam faktor itu, kurikulum merupakan faktor inti yang harus dikuasai seorang guru. Dalam sejarah pendidikan Indonesia,

kita mengenal beberapa macam kurikulum baik tingkat SD, SLTP maupun SLTA. Pada 1950, ada kurikulum SD yang disebut rencana pelajaran terurai. Kurikulum itu membantu para guru karena telah diuraikan bentuk silabus yang jelas.

Pada 60-an, pemerintah merencanakan kewajiban belajar sekolah dasar, dan untuk itu, kurikulum sekolah dasar dilengkapi kelas masyarakat. Kurikulum itu bertujuan menyiapkan keterampilan yang dibutuhkan di lingkungan mereka.

Pada 1968, muncul kurikulum SD yang disebut kurikulum 1968 sekolah dasar. Kurikulum itu menggantikan kurikulum 1950 yang sudah berlangsung 15 tahun. Kurikulum itu juga menitikberatkan pada tiga kemampuan dasar, yakni, membaca, menulis, dan berhitung. Pada awal 70-an, secara tiba-tiba pelajaran berhitung diganti dengan pelajaran matematika modern.

Pada 1992, direktur jenderal (dirjen) pendidikan dasar dan menengah pernah menginstruksikan kelas satu sampai kelas tiga di sekolah dasar diajarkan pelajaran berhitung. Hal itu bertujuan agar anak didik mampu menguasai hitungan-hitungan yang terdapat dalam masyarakat. Apabila pengetahuan berhitung sudah dikuasai, mempelajari pelajaran matematika akan lebih mudah dimengerti. Instruksi dirjen itu hampir tidak pernah digubris kalangan sekolah.

Lalu, muncul kurikulum 1975 yang mempergunakan matematika ditambah pelajaran pendidikan moral pancasila serta memperkenalkan pelajaran pengetahuan kewargaan negara. Selanjutnya, muncul kurikulum 1984. Kurikulum 1984 menyempurnakan kurikulum 1975. Dalam kurikulum itu, muncul ide cara belajar siswa aktif atau CBSA. Cara belajarnya diperkenalkan para 'pakar pendidikan' yang belajar di Inggris. Sistem itu diperkenalkan pakar tersebut dengan bantuan beberapa konsultan dari Inggris karena dana kegiatan memperkenalkan cara itu merupakan bantuan dari pemerintah Inggris.

Cara belajar siswa aktif ini akhirnya dilarang direktorat pendidikan dasar untuk dipergunakan pada 1991.

Selanjutnya, muncul kurikulum 1994 yang hampir tidak berbeda dengan kurikulum 1984, baik sisi materi maupun jam pelajaran serta menyangkut hal lainnya. Selanjutnya, muncul kurikulum 2004, penulis belum pernah memperolehnya, pada waktu itu muncul pula kurikulum baru yang disebut kurikulum berbasis kompetensi yang disingkat KBK. Kurikulum itu, menurut pencetusnya, merupakan yang baik dan cocok dengan bangsa ini. Begitu riuh rendahnya kurikulum itu diperkenalkan, sehingga biaya sosialisasinya tidak sedikit. Kurikulum itu dilaksanakan bagaikan gempa bumi dari kota sampai ke desa, akhirnya kurikulum yang telah memakan dana besar berhenti. Akhirnya, kurikulum KBK itu, oleh sebagian guru, diplesetkan menjadi 'kurikulum berbasiskan kebingungan'.

Kemudian secara tiba-tiba, muncul kurikulum yang disebut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Menurut penjelasan, pihak sekolah diberikan wewenang untuk membuat kurikulum di setiap sekolah. Menurut penulis, pencipta kurikulum di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ialah 'pakar-pakar pendidikan' yang ulung untuk mengganti-ganti kurikulum tanpa memperhitungkan kemampuan dan psikologis para guru.

Kurikulum yang sering berganti itu mengakibatkan kebijaksanaan pendidikan di negeri ini susah untuk dimengerti, apalagi dijalankan. Hal itu dapat menyebabkan para pendidik negeri ini menjadi apatis.

Menurut penulis, kurikulum yang pernah dibuat di negeri ini, terlebih sejak 80-an, tidak menyiapkan anak bangsa untuk memiliki intelektual yang cukup dan tidak membekali para murid/anak untuk terjun ke masyarakat. Yang diciptakan sebagian sekolah ialah menyiapkan para anak didik untuk menambah angka pengangguran.

Untuk itu penulis menyarankan beberapa hal berikut ini.

Pertama, berhati-hatilah mempersiapkan kurikulum di negeri ini, karena bagi dunia mana pun pendidikan merupakan lahan untuk mempersiapkan masa depan suatu bangsa.

Kedua, buatlah kurikulum yang jelas isinya. Kurikulum harus mampu membekali mereka dengan ilmu, teknologi serta keterampilan yang dibutuhkan di negeri sendiri dan negara tetangga terdekat.

Ketiga, hindari membuat sekolah-sekolah yang out put-nya tidak dapat diserap pasar kerja atau masyarakat setempat. Jangan sampai sekolah menjadi lembaga yang akan memperbesar jumlah pengangguran.

Keempat, jangan berpikir ingin menciptakan semua anak bangsa ini harus menjadi sarjana dengan cara yang tidak sehat.

Perbanyak anak-anak bangsa yang mampu bekerja keras untuk memperoleh atau memproduksi hasil kekayaan alam dengan menggunakan ilmu yang diperolehnya. Saatnya kita melakukan perubahan secara besar-besaran di dunia pendidikan.

1 komentar:

  1. ikuti lomba pembuatan blog se-provinsi lampung, info kunjungi:

    http://telkomspeedylampung.blogspot.com

    BalasHapus