Sejumlah pakar menjelaskan teori, itu biasa. Teori, konsep, dan petunjuk teknis memang sering datang dari seorang pakar. Lalu, bagaimana di lapangan para praktisi biasanya menghadapi permasalahannya. Seolah ada kesenjangan antara tataran praktis dan teoretis. Ada bagian-bagian yang kurang menyentuh bagian yang pragmatis sehingga beragam penjelasan sering dirasakan kurang praktis.
Untuk itulah Hernowo-seorang guru bahasa dan sastra Indonesia-turut serta menjelaskan bagian teoretis dalam kemasan pengalaman praktis. Konsep-konsep pendidikan yang biasanya sarat dengan beban teori dijelaskan secara ringan melalui tokoh Bu Slim dan Pak Bil. Dalam buku yang mengusung perbincangan pendidikan di masa depan ini, dua tokoh secara renyah menjelaskan konsep whole brain, modalitas, kebermaknaan belajar, konstruktivisme, life skills, portofolio, dan kompetensi dalam pengalaman belajar keseharian.
Apabila Anda membuka sampul depan terbitan MLC ini, segera akan ditemukan kalimat yang menjanjikan kemudahan mencerna buku ini. Bunyi kalimatnya seperti ini, "Buku simpel nan praktis yang ditulis dalam bahasa obrolan ini akan membuat Anda berteriak sangat keras, WOW AKU BISA!" Berdasarkan kalimat tersebut, berarti ada tiga kata kunci yang dijanjikan kepada pembaca dalam buku ini, yakni: simpel, praktis, dan terlepas dari keringnya ragam bahasa formal.
Dari bentuk fisiknya, kesan simpel dapat dengan mudah terlihat dari ketebalan buku yang dikemas hanya sebatas 124 halaman. Besarnya ukuran huruf yang digunakan di atas rata-rata dan ukuran jarak antarbaris dengan spasi ganda memperjelaskan kesan itu. Kesan simpel juga semakin menguat ketika pembaca menemukan dominannya ilustrasi gambar kartun yang berkesan lucu tetapi merujuk pada tema pembicaraan yang mengisi hampir setiap halaman buku ini.
Mengejar kesan praktis, penulis tidak memulai dari definisi atau berkutat pada kedalaman teori. Ia memang menyebut beberapa pakar seperti: Dave Meier, Paul E Dennison dan Gail E Dennison, Colin Rose, Lawrence C Katz dan Manning Rubin, Tony Buzan, Bobby DePorter, Mikle Hernacki, dan sejumlah tokoh lainnya. Meski demikian, pakar dengan teorinya tidak menjadi lepas sebagai kajian formal. Para pakar dan judul buku yang disebutkan dikemas menjadi bagian yang larut dari pembelajaran dan pengalaman kontekstual dari kedua tokoh penulis, Pak Bil dan Bu Slim. Maka, jadilah buku ini sebagai kemasan transfer pengetahuan dalam obrolan pengalaman yang mengalir dan mengasyikkan.
Di kalangan pakar sepakat bahwa kegagalan pelaksanaan CBSA yang mengusung konsep active learning adalah tak pernah bergesernya paradigma guru sebagai insan yang diberi kewenangan menyelenggarakan pendidikan. Guru telah terbiasa menjadi penentu (teacher center) daripada menjadi fasilitator pembelajaran yang bertumpu pada aktivitas siswa (student center). Itu sebabnya, guru sering menempatkan aktivitasnya "mengajar" (teacher teaching) dan melupakan siswa sebagai subyek didik yang belajar (student learning). Akhirnya, yang menjadi perhatian guru adalah proses belajar-mengajar (learning teaching process) dengan perhatian siswa secara kelasikal, bukan penghargaan aktivitas siswa sebagai individu (student activity).
Akan halnya CBSA, Kurikulum 2004 (KBK) pun akan bernasib sama andai paradigma guru tidak berubah. Pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas akan lagi-lagi didominasi oleh para guru yang mengajar dengan "gaya bank" (Paolo Freire) karena terkungkung instruksi keharusan menyelesaikan sejumlah materi pelajaran. Tentu saja kondisi guru seperti itu tidaklah berdampak positif bagi perkembangan potensi individual siswa.
Lalu bagaimana menurut praktisi, dalam hal ini guru? Mereka malah menyalahkan pakar yang hanya berteori dan tak pernah berpijak di bumi. Beberapa kondisi obyektif sering menyimpang dari teori yang diutarakan sehingga selalu ada ketimpangan antara teori dengan kenyataan sehari-hari.
Untuk itulah Hernowo menulis. Ia mengaku praktisi, seorang guru bahasa dan sastra Indonesia. Sepertinya ia memahami keterbatasan seorang pakar yang biasanya terjebak pada konsistensi teori dan keterkungkungan aturan-aturan formal keilmuan maupun kebahasaan. Tetapi ia pun sadar betul akan kompetensi yang dimilikinya. Maka, ia pun menulis, "Buku yang saya rancang konsep bercerita ini merupakan upaya saya untuk menunjukkan kompetensi saya dalam menggunakan bahasa Indonesia. Mungkin karya saya ini belum termasuk ke dalam kategori tulisan sastra. Dalam buku ini saya hanya ingin berimajinasi lewat tokoh Bu Slim dan Pak Bil. Tentu saja imajinasi saya tidak lantas melayang-layang tak karuan. Imajinasi saya yang saya kembangkan di buku ini saya pijakkan pada pengalaman nyata."
Seorang guru yang mampu menulis memang bukan Hernowo seorang. Dalam sejarah pendidikan kita ditemukan sejumlah nama, mulai dari Ki Hajar Dewantoro sampai Ki Suprayoko; sejak Pater Drost SJ sampai St Kartono.
Khusus yang terakhir ini memang memiliki kemiripan dengan Hernowo. Dalam dua karangannya, ia senantiasa menyebut dirinya sebagai guru, baik dalam Menebar Benih Keteladanan; Kumpulan Esei seorang Guru (2001); maupun [Menebus] Pendidikan yang Tergadai: Catatan Refleksi Seorang Guru (2002). Tetapi kedua buku itu agak berbeda dengan Hernowo yang menulis Bu Slim & Pak Bil : Penerapan Multipel Intelegensi pada Kehidupan Sehari-hari di Sekolah (2003), maupun pada Bu Slim & Pak Bil: Membincangkan Pendidikan di Masa Depan: Ihwal Life Skills, Portofolio, Konstruktivisme, dan Kompetensi (2004), ia bukan hanya mampu menulis tetapi lebih dari itu, ia mampu mengobrol.
Kehadiran guru yang menjadi penulis memang membesarkan hati. Walau bagaimanapun, gurulah yang paling mengetahui permasalahan di lapangan pendidikan. Guru yang merasa bebas dari kungkungan dan berusaha tampil menciptakan hal-hal baru bagi penciptaan kegairahan menyongsong masa depan. "Lewat buku ini, yang merupakan serial kedua Bu Slim dan Pak Bil," tulisnya, "saya ingin menatap sistem pendidikan kita di masa depan. Apa kira-kira yang harus dikuasai oleh para penggiat pendidikan untuk menggairahkan pendidikan di masa depan."
Semoga kesadaran dan kegairahan mengelola pembelajaran yang lebih baik juga merambah ke guru-guru lain di seantero jagat. Setidaknya, sedikit demi sedikit akan hilanglah kekhawatiran kita terhadap kegagalan pendidikan di negeri ini. Terutama kegagalan pendidikan yang paling mendasar, yakni kegagalan dalam belajar, sebagaimana Alvin Tofler katakan, "Mereka yang buta huruf mengenai masa depan bukan lagi individual yang tidak dapat membaca. Mereka adalah orang yang tidak tahu cara belajar mengenai cara belajar."
Maka, siapa lagi yang mau mengajarkan cara belajar? Tidak apa-apa kok sambil mengobrol juga!
Penulis: Hernowo .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar